Sayap Pelindung
Avviestar
Vena, gadis bermata sipit itu tiba-tiba terbangun di tengah malam yang sunyi. Nafasnya memburu disertai dengan bulir-bulir keringat yang membasahi wajahnya. Ia terbangun dengan perasaan sesak yang begitu menyakitkan. Saat ini, hanya ada satu hal yang berada dalam pikirannya. Ayahnya. Ia segera beranjak dari kasurnya dan berlari kearah pintu untuk bergegas menuju ke kamar milik ayahnya. Sungguh kejadian yang sangat mustahil untuk terjadi di rumah itu. Selama ini, Vena selalu menghindari kamar itu dan tak pernah mau menginjakkan kakinya barang sedikit pun kedalam area kamar ayahnya.
Tak butuh waktu lama bagi Vena untuk menuju ke kamar ayahnya, karena kamar milik sang ayah bersebelahan dengan kamar miliknya. Ya, ayahnya sendiri yang meminta untuk mempunyai kamar yang bersebelahan dengan kamar milik putri tercintanya. Dan entah kenapa, Vena menyetujui keinginan ayahnya itu tanpa berniat untuk melayangkan protes sedikit pun.
Setelah sampai didepan pintu kamar ayahnya, Vena pun memilih untuk diam di tempat tanpa ada niatan mengetuk pintu berwarna putih itu. Sebenarnya, Vena bisa langsung masuk kedalam karena ayahnya tak pernah mengunci pintu kamarnya. Kenapa Vena bisa mengetahui hal itu? Tentu saja karena ayahnya sendiri yang memberitahukan hal tersebut kepadanya, alasannya tentu saja agar putrinya tidak kebingungan jika membutuhkan sesuatu dan bisa langsung meminta bantuannya. Setelah beberapa menit merenung didepan pintu kamar ayahnya, Vena pun memilih kembali ke kamarnya dan mengurungkan niat awalnya untuk melihat keadaan sang ayah.
Esok harinya. Ketika keluar dari kamarnya, Vena langsung disambut oleh sang ayah dengan senyuman hangat yang selalu menghiasi wajahnya yang mulai keriput karena termakan oleh usianya yang memang sudah tak lagi muda. Vena berusaha untuk tidak menangis karena teringat akan mimpi buruknya tadi malam.
"Selamat pagi tuan putri." Ucap sang ayah dengan masih mempertahankan senyuman lebarnya. 'Tuan putri' merupakan panggilan kesayangan dari ayah untuk Vena, putri tercintanya.
"Hm, pagi." Jawab Vena dengan nada yang terkesan datar tanpa emosi. berbeda jauh dengan perasaannya yang sebenarnya.
Sang ayah tersenyum mendengarnya, akhirnya terdengar juga balasan dari sapaan yang selama ini selalu ia ucapkan setiap pagi pada sang putri.
Yah, meskipun dengan nada datar yang selalu terdengar dari setiap kata yang keluar dari mulut putri kesayangannya itu.
"Pagi ini mau sarapan apa tuan putrii?" Tanya sang ayah dengan ceria.
"Percuma juga jawab kalo ujung-ujungnya ayah ga bisa masakinnya." Ucap Vena dengan ketus. Ayah pun seketika terdiam mendengar ucapan putrinya. Melihat ayahnya yang hanya diam saja, Vena pun memilih untuk melangkahkan kakinya melewati sang ayah. Ia berusaha untuk tak menoleh ke arah belakang karena tak sanggup untuk melihat wajah sang ayah. Dapat dipastikan bahwa ayahnya pasti sakit hati setelah mendengar ucapannya. Namun, lagi dan lagi Vena berusaha untuk mengabaikan hal itu dan kembali berjalan santai menuju ke arah meja makan seolah tak pernah terjadi apapun.
Malam Harinya. Ketika ayah tengah berjalan menuju ke kamarnya, ia tak sengaja melihat pintu kamar milik putrinya yang terbuka lebar. Ia heran melihatnya, tak biasanya sang putri membiarkan pintu kamarnya terbuka seperti itu. Khawatir terjadi sesuatu pada putri kesayangannya, ia pun segera melangkahkan kakinya menuju kearah kamar milik sang putri. Sesampainya didepan kamar putrinya, ia kebingungan karena ia tak menemukan keberadaan sang putri didalam kamar tersebut. Ketika tengah sibuk mencari keberadaan sang pemilik kamar, perhatiannya tiba-tiba teralihkan pada sebuah buku kecil dengan sampul berwarna biru langit yang terletak diatas meja belajar milik putrinya.
Buku itu begitu menarik perhatiannya. Didorong oleh rasa penasarannya yang membuncah, ia pun memutuskan untuk melihat isi dari buku bersampul biru langit tersebut. Baru saja ia ingin melihat isi buku tersebut, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara teriakan putrinya dari arah pintu.
"AYAHHH!!! APA YANG SEDANG AYAH LAKUKAN DIKAMARKU!!?" Teriak Vena dengan suara yang mengelegar. Sang ayah pun terkejut mendengarnya dan segera menjelaskan.
"Tu-tuan putri, ayah hanya.." Belum sempat ayah menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba Vena kembali berteriak.
"AKU TAK PERNAH MENGIZINKAN AYAH UNTUK MEMASUKI KAMARKU!" Ucap Vena dengan penuh amarah.
"Iya…. tapi tuan putri, tadi ayah melihat pintu kamarmu terbuka dan ayah khawatir padamu. Jadi ayah mencoba untuk mengecek kedalam." Ucap ayah yang masih berusaha untuk menjelaskan.
"LALU KENAPA AYAH MENYENTUH BARANG-BARANGKU!? AYAH SAMA SEKALI TIDAK MEMILIKI HAK UNTUK MENYENTUH BARANG-BARANG MILIKKU!!" Jawab Vena dengan nada tinggi.
"M-maaf tuan putri, ayah tak sengaja. Ta-tapi tenang saja tuan putri, ayah belum membacanya sama sekali. Jadi tuan putri tidak perlu khawatir." ucap ayah sambil tersenyum hangat ke arah putrinya yang terlihat masih dikuasai oleh emosi.
"Semua barang-barang yang ada dalam kamar ini adalah barang pemberian dari ibu. Dan karena ayah adalah penyebab ibu pergi, maka ayah sangat dilarang untuk menyentuhnya." Ucap Vena dingin dengan tatapan tajamnya yang diarahkan kepada sang ayah.
"Baik, ayah mengerti tuan putri. Ayah minta maaf.." Jawab sang ayah dengan penuh sesal. Ia menyesal karena telah sembarangan menyentuh barang milik putrinya.
"Keluar." Ucap Vena.
"Iya, tuan putri?" Tanya ayah memastikan apa yang telah di dengarnya.
"KELUAR DARI KAMARKU, AYAH!!" Teriak Vena sambil menunjuk kearah luar kamarnya.
Merasa sedih karena diusir oleh putrinya, ayah pun langsung pergi menuju ke luar kamar dengan perasaan kecewa dan marah. Kecewa karena telah diusir oleh sang putri dan marah pada diri sendiri karena telah menyentuh barang milik putrinya sembarangan. Dengan langkah gontai, ia pun berjalan menuju ke kamarnya dan mendudukkan dirinya dipinggir kasur. Ia terdiam sambil melihat sekeliling kamarnya. Pandangannya terhenti pada sebuah pigura yang menampilkan foto sebuah keluarga bahagia yang berisi ibu, ayah, dan seorang anak di dalamnya. ia berdiri dan kemudian melangkah menuju ke tempat diletakkan nya pigura itu. Ia mengambil pigura itu dan memeluknya dengan erat, ia mulai menangis dan bergumam tak jelas didalam kamarnya yang sunyi itu.
Berbanding terbalik dengan kondisi ayahnya, Vena malah tengah asyik menulis dibuku diary nya yang memiliki sampul berwarna biru langit. Ia sama sekali tak berniat untuk memikirkan kejadian tadi dan memilih untuk mengabaikannya. Selang beberapa menit ia menulis, tiba-tiba ia merasa haus. Dengan malas ia pun beranjak dari tempat duduknya menuju ke luar kamar untuk pergi mengambil air minum. Namun ketika ia tengah berjalan menuju ke arah dapur, langkahnya terhenti ketika mendengar isak tangis seseorang. Vena mencoba mencari asal suara tersebut dan kembali menghentikan langkahnya ketika sampai didepan kamar milik ayahnya. Rupanya, suara isak tangis yang tadi ia dengar berasal dari dalam kamar sang ayah. Ia terdiam mendengarnya, rasa haus yang sempat ia rasakan tiba-tiba hilang, digantikan oleh rasa penasarannya. Vena pun mencoba mengintip ke dalam kamar ayahnya dan melihat sang ayah yang tengah menangis sambil memeluk sebuah pigura. Dadanya terasa sakit saat itu, apakah tadi ia keterlaluan? Vena tak menyangka kalau sang ayah akan menangis seperti ini. Karena tak kuat melihat keadaan sang ayah, Vena pun memutuskan untuk kembali ke dalam kamarnya.
Esok paginya. Ketika Vena keluar dari kamarnya, ia malah merasa aneh. Vena merasa ada yang kurang pagi ini, tapi apa? Ah iya, ayahnya. Vena merasa tak terbiasa dengan suasana pagi hari ini. Pagi harinya yang biasanya selalu penuh dengan sapaan dan candaan dari sang ayah tiba-tiba terasa begitu sunyi saat semua itu hilang. Vena menoleh ke arah kamar ayahnya, dan ternyata pintu kamar ayahnya belum terbuka sama sekali. Sang ayah masih belum keluar dari kamarnya sejak tadi. Vena menghela nafas mencoba memaklumi, mungkin sang ayah masih tertidur karena kelelahan menangis malam tadi.
Siang hari ini, Vena berniat pergi keluar untuk membeli kado ulang tahun ayahnya. Ia baru teringat bahwa besok adalah hari ulang tahun sang ayah. Ia berniat untuk memberikan kadonya besok sambil meminta maaf pada sang ayah. Melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 12:30, ia pun bergegas bergegas untuk pergi menuju toko yang ada didekat rumahnya. Jarak dari rumahnya menuju toko tidak terlalu jauh, sehingga ia tidak perlu menggunakan kendaraan untuk pergi ke sana.
Setelah mendapatkan kado untuk ayahnya, Vena pun bergegas untuk pulang kerumah dengan semangat. Ketika hampir sampai ke rumah, ia melihat ayahnya yang tengah mondar-mandir diteras rumah sambil mengacak rambutnya. Vena berpikir, mungkin ayahnya sedang mencari dirinya karena tadi ia lupa untuk meminta izin dulu kepada sang ayah. Vena pun segera berlari menuju ke arah sang ayah sambil memanggil ayahnya.
"AYAHH!!" Panggilnya dengan penuh semangat. Ayah yang menyadari bahwa dirinya dipanggil pun langsung menoleh ke sumber suara dan melihat putrinya yang tengah berlari menuju ke arahnya. Sekilas ia tersenyum lega ketika melihat putrinya, namun kemudian ia terkejut ketika melihat adanya mobil berkecepatan tinggi yang tengah menuju ke arah putrinya. Sontak ia langsung berlari sambil berteriak ke arah sang putri.
"TUAN PUTRI! AWAS!!" Teriak sang ayah sambil mendorong sang putri ke arah lain, sehingga ia lah yang tertabrak menggantikan sang putri yang masih terkejut akan situasi yang telah terjadi. Dan ketika Vena telah sadar, ia pun langsung menangis sambil memanggil-manggil ayahnya.
"Ayah? Ayah jawab aku..ayah kumohon jangan tinggalkan aku..." Ucap Vena sambil terus terisak. Orang-orang yang melihat kejadian itu pun langsung segera menelfon ambulans.
Malam hari pun tiba, Namun sang ayah tak kunjung tersadar. Setelah dibawa kerumah sakit dengan menggunakan ambulans, ayahnya langsung dibawa keruang gawat darurat dan segera ditangani oleh dokter yang tengah bertugas di hari itu. Ketika sedang menunggu ayahnya yang tengah ditangani oleh dokter, Vena pun mendapat kabar dari tantenya yang tengah mengurus kasus kecelakaan ayahnya siang tadi dikantor polisi. Berdasarkan hasil penyelidikan polisi, Rupanya sipengemudi mobil yang telah menabrak ayahnya itu sedang mabuk sehingga tidak fokus ketika mengendarai mobilnya. Tantenya mengatakan bahwa sipengemudi mobil tersebut tengah ditangani oleh aparat kepolisian karena ia tak mengalami cedera yang serius.
Vena hanya bisa mengiyakan ucapan tantenya saat itu karena ia masih sibuk memikirkan bagaimana keadaan ayahnya didalam sana.
Vena tak tidur semalaman, ia masih setia menunggu ayahnya tersadar dari tidurnya. Untungnya setelah diperiksa oleh dokter, ayahnya ternyata tak mengalami cedera yang terlalu parah dan membahayakan. Vena bisa bernafas sedikit lega setelah mendengar hal tersebut.
"Ayah? Apa ayah belum puas tidur? Apa ayah tak merindukan tuan putri ayah ini? Jahat sekali ayah membiarkan tuan putri ini menunggu begitu lama.." Ucap Vena saat melihat ayahnya yang tak kunjung bangun.
Setelah ber jam-jam Vena menunggu sang ayah tersadar akhirnya ia pun tertidur disamping sang ayah. Namun baru saja beberapa menit Vena menutup matanya, seketika ia terbangun ketika merasakan elusan lembut diatas kepalanya. Vena mendongakkan kepalanya dan terkejut ketika melihat sang ayah yang sudah tersadar dan kini tengah menatapnya dengan senyuman hangat yang menghiasi wajahnya. Sungguh, senyuman itu lah yang selama ini sangat Vena rindukan.
"Ayah!? Ayah sudah sadar? Astagaa demi apa ayah, aku sangat mengkhawatirkan ayah. Kenapa ayah lama sekali sadarnya? Aku takut ayah kenapa-napa.." Ucap Vena sambil menangis bahagia.
"Hahaha, ternyata tuan putri begitu mengkhawatirkan ayah yaa? Tenang saja tuan putri! Ayah kan sayap pelindung untuk tuan putri! Ayah tidak akan kenapa-napa." Jawab ayah dengan sedikit tawa.
"Kalau ayah adalah sayap pelindungku berarti ayah harus selalu berada di sampingku dan tidak boleh sakit! Oke? Janji?" Ucap Vena lagi sambil menyodorkan jari kelingking nya kehadapan sang ayah.
"Oke oke, baiklah. Ayah berjanji" Ayah pun ikut menyodorkan jari kelingking nya dan menautkannya dengan jari kelingking milik sang putri.
"Yeayy! Terima kasih Ayah!" Ucap Vena kemudian memeluk sang ayah dengan erat.
"Sama-sama tuan putri, itu sudah tugas ayah sebagai sayap pelindungmu." Ayah pun membalas pelukan erat dari sang putri.
Vena tersenyum mendengar jawaban sang ayah. Iya benar, ayah adalah sayap pelindungnya. Dan akan selalu begitu, tak akan ada yang bisa menggantikan posisi sang ayah dalam hidupnya.
Membosankan 🧢🧢
BalasHapuslumayan masuk ke hati
BalasHapuscerpen ini bkin w jdi sentimentallll! i believe the author is supremarcy
BalasHapus