Rabu, 13 November 2024

Langit Biru

Langit Biru

Ynofilicious 

    Hari ini, merupakan hari yang terasa sama saja seperti hari-hariku kemarin. Tidak ada yang berbeda. Roda kehidupanku seperti tidak memberikan ruang baru untuk kulalui. Ku tatap langit biru di sore hari yang menarikku untuk menatapnya. Cantik, hangat, nyaman. Apakah hidup memang seperti ini? Ataukah ada hal yang lain selain ini? Mari berpikir positif dan kuatkan diri menjalaninya. Ku kayuh sepedaku pulang menuju rumah kecilku di dekat sungai yang merupakan tempat terbaikku bersembunyi dan memulihkan diriku setelah menjalani hari-hari yang berat. Aku harus berusaha melewati ini sendiri, karena hanya aku yang harus ada untuk diriku sendiri.

    Burung-burung, angin dan bahkan Cahaya sinar matahari yang bersinar seakan meneriakkan kata semangat untukku yang bahkan tidak pernah saling menyapa, hanya bisa saling merasakan satu sama lain. Begitulah kekuatan yang kumiliki dari bantuan alam yang tidak pernah Lelah memberikannya tanpa pamrih. Aku sudah cukup merasakan goresan, luka yang tidak terkira dari makhluk Tuhan yang Bernama “Manusia”.  Aku sudah lupa berapa banyak manusia yang memberikan luka yang sampai saat ini belum kutemukan cara mengobati dan menutupnya. Manusia itu dengan gampangnya memberikan harapan dak kekuatan tapi apa yang diberikannya itu tentu meminta imbalan. Mereka akan terus mengusik dan mengganggu jikalau kita tidak memberi seperti apa yang diinginkannya.

    Cahaya matahari terbenam membuatku berhenti diam mematung. Menatap keindahannya, berusaha menyimpan itu melalui mata dan kumasukkan di hatiku terdalam, agar kehangatannya bisa menghangatkan hatiku juga. Sejenak aku berdoa kepada Tuhan yang telah memberikan ku keindahan ini, sambil beberapa kali memujinya. Lamunanku terhenti Ketika aku mengar suara kucing samar-samar di bawah pohon yang jaraknya hamper dekat dengan rumahku. Terkejutnya aku melihat kaki kucing putih jenis Anggora itu bersimbah darah. Ku buka kemejaku lalu ku bungkus tubuh kucing itu sambil berlari masuk ke dalam rumahku. Untung saja kucing itu masih hidup, tapi apa yang harus kuperbuat? Aku bukan dokter hewan. Astaga Han fokuslah bagaimana mengobati kucing itu!

    Kuambil kotak obat sederhanaku mengambil nafas sejenak. Lalu fokus mengobati kucing putih itu. Dengan lembut ku seka lukanya dengan air hangat yang sudah kusiapkan, Gerakan kikukku semoga tidak membuat kucing ini semakin kesakitan. Untungnya saja kucing itu seperti tertidur pulas. Setelah kubalut lukanya dengan plester ku elus kepalanya dengan penuh kasih sayang, sambil tersenyum manis sembari berpikir mengapa ada kucing secantik ini disekitara rumahku? Apa harus kupasang poster kucing hilang, jangan sampai pemiliknya kebingungan mencarinya. Sejenak aku tersadar, mengapa hari ini terasa sedikit berbeda? Kulirik jam dindingku, sudah pukul 10.00 malam. Apa biasanya waktu terasa secepat ini berlalu? Aku duduk sambil menatap kucing yang terlelap dihadapanku, entah mengapa pandanganku tak bisa lepas darinya. Apakah kucing ini penyihir? Ayolah Han umurmu sudah tidak membiarkanmu memikirkan hal-hal konyol sewaktu kecil itu. Kupikir aku sudah benar-benar menjadi kaku. Ternyata aku masih menyisakan sedikit kadar kekonyolan dalam hidupku, ku pindahkan tubuh kucing itu ditempat paling nyaman di rumahku. Ya apalagi kalau bukan kasurku. Baiklah untuk kali ini akan kubiarkan ada orang lain selainku yang menikmati zona ternyaman dalam hidupku. Kudekati kucing putih itu sambil membisikkan “Selamat malam tuan putri, semoga lekas sembuh.” Ucapku pelan sambil mengecup perbannya. Mari lewati malam ini dengan penuh kebahagiaan untuk menyambut apa yang akan tejadi dan menimpa kita besok ucapku pada diriku.

    Aku tidak membutuhkan alarm, karena kicauan burung-burung itu adalah teman paling baik disetiap pagiku. Tanganku sibuk mencari kacamataku, sembari menyisir kamarku pagi itu, tempat terbaik mengisi ulang energiku. Setelah sibuk berberes, mari Bersiap-siap menyambung hidup dengan mencari uang untuk bertahan hidup. Diperjalanan hampir saja aku menabrak seorang gadis bergaun abu-abu dengan rambut cokelat tua yang sedang menyebrang jalan. Kami berdua sama-sama terkejut, hingga membuat gadis itu terjatuh. Segera kuhampiri dirinya yang memegang lututnya sambil meringis kesakitan.

“Maaf saya sedang buru…” kata ku terhenti. Terpukau oleh kecantikan gadis ini. Seperti tidak percaya dengan apa yang kulihat pagi ini. Mengapa juga dadaku bergemuruh dengan hebatnya saat di dekat gadis ini? Wangi rambutnya menyeruak seperti harum beribu bunga. Entah mengapa aku tidak asing dengannya. Segera kusadarkan diriku dan membantunya berdiri dari jalan sambil membantunya duduk. Tangan gadis itu menggengam tanganku erat, jemari tangannya begitu indah sampai aku berpikir tanganku tak cukup untuk digenggamnya.

“Terima kasih.” Ucapnya padaku sambil tersenyum, rambutnya berkibar diterpa angin semakin menambah keindahannya pagi itu. Matanya berwarna biru terang, seperti warna langit yang paling kusuka. Apakah ini adalah bagian rencana Tuhan? Sudahlah aku hanya akan menikmati momen yang seakan tidak nyata.

“Ah… Ka… An… bagaimana aku memanggilnya…” gumamku pelan.

“Katty.” Ucapnya sambil mengulurkan tangannya. Aku terdiam memandangnya.

“Han.” Ucapku sambil menjabat tanganya. Hari itu kulupakan pekerjaan melelahkan ku itu, sambil mengajak Katty berkeliling kota kecil yang sebenarnya indah bagiku. Begitu banyak tempat bisa dikunjungi dan memanjakan mata. Itulah mengapa aku suka disini.

Hari itu kulanggar serangkaian aktivitas membosankan harianku yang biasa kulakukan sendiri, saat ini Katty gadis cantik yang entah datangnya darimana berada di hadapanku. Mengajakku, mempengaruhiku untuk pergi dengannya. Katty menarik tubuhku kedalam pelukannya. Aku bisa mendengar suara tawanya sambil mengelus punggungku.

“Katty?” tanyaku yang masih terheran dengan keadaan saat ini. Seorang gadis yang baru bertemu memelukku? Apa lagi ini? Apa yang harus kuperbuat?

“Biarkan aku memelukmu. Aku tahu kau sangat membutuhkannya” Ucap Katty mengelus kepalaku dengan lembut. Ucapan sederhana itu masuk kehatiku dan retakannya. Katty melepas pelukannya sambil mengelus pipiku, air mata yang selama ini tidak pernah ku teteskan sekalipun aku berada dititik tersedih hidupku menetes juga dihadapannya dengan deras. Kukepal tanganku dengan penuh kekesalan, aku mengira diriku kuat sekuat baja, ternyata aku tidak lebih lemah dari kaca yang bisa pecah dengan sentuhan kecil, lalu hancur menjadi kepingan yang tidak berbentuk.

Memakai topeng bahagia palsu untuk menutupi kelemahan dan kesedihan itu ternyata sangat buruk terlebih itu sudah kulakukan bertahun-tahun. Aku memeluk Katty kembali dengan sangat erat. Aku tidak peduli apa yang ku peluk ini adalah manusia ataupun bukan, aku hanya akan memeluknya erat seperti saat ini. Katty membalas pelukanku dengan erat seakan menyalurkan semua energi baiknya padaku.

“Kau bisa bersandar padaku. Kapanpun kau mau Han.” Ucap Katty lembut lalu mengecup keningku. Tak terasa waktu yang kami lewati Bersama-sama membuat retakan hatiku perlahan kembali terisi dengan cinta dan kasih sayang yang diberikan Katty. Hari-hariku yang kemarin terasa hampa mulai berwarna dengan kehadirannya. Kubiarkan semua tentangnya menghiasi semua sudut hatiku, aku hanya akan mengisinya dengan Katty. Setiap sudut rumahku yang dulu hanya untukku sekarang juga sudah kubagi dengan Katty. Katty adalah makhluk Tuhan yang paling baik yang dikirimkan-Nya padaku. Saat Katty terlelap dalam disampingku, kupanjatkan Syukur kepada Tuhan karena masih menyangiku. Kukecup keningnya lembut akan kuhabiskan waktu dengannya sampai akhir hayatku.

            Katty mengajakku masuk ke dalam hutan yang entah mengapa terasa tidak asing bagiku, aku bahkan tidak sadar bahwa hutan ini berada di belakang rumahku. Wajah Katty tertimpa sinar matahari makin menambah kecantikannya sore itu, berjalan bersamaku menyusuri hutan hingga sampai ujung hutan yang menyuguhkan pemandangan seluruh kota. Lagi-lagi Katty membawaku ke dunianya yang sangat tidak nyata. Tapi aku tidak memperdulikan itu aku hanya ingin menikmati ini bersamanya.

    Kami berdua duduk sambil menikmati pemandangan dan perasaan masing-masing. Genggaman tangan yang tidak ingin kulepaskan itu. Katty menyandarkan kepalanya di dadaku.

“Jika suatu saat nanti aku menghilang dari pandaganmu. Apa yang akan kau lakukan?” Tanya Katty pelan. Pertanyaan itu membuatku tercekat.

“Aku akan mencarimu dibelahan bumi manapun.” Jawabku sambil memeluknya erat. Kami berdua hanya tertawa sambil kembali terdiam dalam pikiran masing-masing.

Diperjalanan pulang Katty bercerita bahwa hutan ini adalah rumahnya, jika hutan ini menghilang atau ada yang menghancurkannya maka dirinya juga akan menghilang. Langkahku terhenti mendengar kata-katanya sambil memandang punggungnya.

“Han… kau harus Bersiap dengan semua keadaan yang terjadi padamu suatu saat nanti.” Jelas Katty sambil menatapnya dengan senyuman yang terasa sedih itu.

“Aku tidak akan membiarkanmu hilang dariku. Aku berjanji.” Ucapku pada Katty sambil mengusap wajahnya. Bagaimana aku bisa membiarkan Katty pergi dari hatiku sementara hanya ada dirinya dalam hatiku. Tapi bukankah ditinggalkan dan meninggalkan itu hal yang wajar dalam kehhidupan kita? Tapi haruskan secepat ini? Dan dari semuanya mengapa harus Katty yang pergi dari hidupku nanti?

            Serasa tidak percaya dengan apa yang kulihat, hutan tempat yang kuhabiskan dengan Katty terbakar hebat. Begitu banyak mobil pemadam kebarakan di sana. Tanpa pikir Panjang aku berlari menuju rumahku pikiranku kacau, hatiku kalut. Han bukan saatnya tenggelam dalam pikiran sendiri, Katty! Aku harus mencari Katty. Ku cari sosok yang sangat kurindukan itu di dalam rumah, kupanggil namanya dengan sekuat tenagaku, tapi tak kutemukan juga sosoknya yang biasanya menyambutku di balik pintu sambil memelukku hangat. Apa yang harus kulakukan, sejenak kupejamkan mata, ku panjatkan doa kepada Tuhan agar mempertemukanku dengan Katty untuk terakhir kalinya, setidaknya biarkan aku mengucapkan salam perpisahan padanya. Tidak kupedulikan suara teriakan dari polisi dan petugas pemadam kebarkaran yang melarangku masuk ke dalam hutan yang sudah penuh dengan kobaran api.

“Katty!... Katty!... Katty! Panggilku berulang kali dengan nada putus asa berlari kesana kemari, menyusuri jalan yang pernah kulalui dengan Katty berlari sampai keujung hutan berharap Katty ada disana menungguku untuk menyelamatkannya. Aku sempat terjatuh, saat aku terjatuh kupandangi langit biru yang tiba-tiba berubah menjadi abu. Air hujan yang turun menyamarkan suara tangisanku yang sudah tidak bisa ditahan lagi, aku hanya berharap Katty yang sudah kusimpan bahkan di retakan hatiku tidak ikut menghilang juga.

    Pandanganku tertuju pada seekor kucing putih jenis Anggora yang tergeletak di hadapanku. Mengapa tiba-tiba ada kucing di sini? Aku segera berlari mendekati kucing itu. Sesaat aku tersadar jika dulu aku pernah menyelamatkan seekor kucing putih apakah itu Katty? Kupeluk tubuh kucing itu erat-erat, mengapa aku tak menyadarinya? Mengapa baru sekarang?

“Katty. . . aku mohon . . . biarkanku melihatmu untuk terakhir kalinya. Biarkan ku ucapkan rasa terima kasihku padamu.” Pintaku sambil menangis, derasnya hujan membasahi hutan seakan meresap masuk kedalam paru-paruku. Apakah Katty juga yang mengirim hujan ini? Maafkan aku yang bahkan tidak bisa menepati janjiku padamu

    Kumasuki rumah, masih tertinggal wangi dan sisa bayangan Katty yang ada disetiap sudut rumahku. Apakah aku sanggup menetap di tempat ini sementara yang mengisi dan menyembuhkan hatikuku sudah tidak ada lagi? Rasanya aku tidak ingin lagi hidup, tapi aku harus tetap hidup sambil membiarkan Katty hidup dalam hatiku kemanapun aku pergi. Hari belum berganti tapi rasa rinduku padanya semakin bertambah, dan bertambah inilah sebabnya ku tak ingin membuat hatiku terisi. Lebih baik semuanya hancur lebur dengan kekosongannya sendiri tanpa terisi. Akhirnya yang tersisa tinggal kenangan yang menghantui dan mengendap selamanya di hati.

Dalam Sunyi yang Mengancam

Dalam Sunyi yang Mengancam

YOTA

Hari itu gelap dan sunyi. Hujan turun deras, menciptakan simfoni muram yang berpadu dengan gelegar petir di kejauhan. Di dalam rumah tua yang tersembunyi di antara pepohonan lebat, duduklah Anton bersama temannya, Felix. Wajah Anton pucat dengan tatapan kosong, sedangkan Felix menampilkan raut wajah yang justru tenang, hampir seperti sedang menikmati suasana mencekam di sekitarnya. Namun, di balik wajah ramah Felix, ada sisi gelap yang bahkan Anton sendiri tidak sepenuhnya mengerti.

Felix adalah sosok misterius yang baru beberapa bulan terakhir ini dekat dengan Anton. Tak banyak yang tahu tentang masa lalunya, dan Anton tak pernah mengajukan banyak pertanyaan. Meski begitu, Anton merasakan ada sesuatu yang aneh dengan sahabat barunya ini—ada perasaan mengancam yang tersembunyi di balik senyum Felix yang tenang.

Desa kecil itu sejak lama dihantui kisah-kisah tentang hilangnya beberapa orang tanpa jejak. Kabar burung beredar bahwa ada seorang psikopat di sekitar mereka. Meski begitu, penduduk desa tetap menjalani kehidupan mereka dengan tenang, namun memilih menghindari jalan yang menuju ke 'Rumah Bayangan' milik Anton.

"Bagaimana rasanya hidup di rumah tua seperti ini?" tanya Felix sambil menatap Anton dengan tatapan penuh selidik.Anton tersenyum tipis. "Sunyi. Tapi aku menikmatinya."Felix tertawa kecil, tatapannya penuh arti. "Sunyi bisa menjadi tempat terbaik untuk menyembunyikan rahasia, bukan?"

Anton merasakan ada sesuatu yang aneh dengan pertanyaan itu, tapi ia memilih untuk tidak menanggapinya. Mereka melanjutkan percakapan tentang hal-hal sepele, namun ada ketegangan yang terus terasa di antara mereka. Anton menyadari bahwa semakin lama ia mengenal Felix, semakin ia melihat sisi kelam dari temannya itu. Seperti ada lapisan yang ingin disembunyikan oleh Felix, namun juga ingin diperlihatkan di saat yang sama.

Beberapa hari kemudian, Anton menerima telepon dari seorang kenalan lama yang mengingatkan dia tentang hilangnya beberapa orang di desa sekitar. Kenalan itu juga menceritakan bahwa polisi sedang menginvestigasi kasus tersebut dan curiga ada seorang pembunuh di antara mereka. Anton tertawa kecil dan menganggap semua itu hanya kebetulan belaka, namun saat telepon ditutup, pikirannya terbayang pada sosok Felix.

Ada sesuatu dalam diri Felix yang tidak biasa, sesuatu yang semakin hari semakin membuat Anton curiga. Rasa penasaran mulai menghantui Anton, membuatnya mencoba mencari tahu lebih dalam tentang teman barunya itu.

Malam itu, Felix datang tanpa aba aba ke rumah Anton. Seperti biasa, ia masuk dengan wajah tenang, menyunggingkan senyum yang dingin namun ramah. Mereka berbincang singkat sebelum akhirnya Felix mulai bercerita.

"Aku pernah merasa seperti tak ada yang mengerti diriku," kata Felix pelan, tatapannya menerawang jauh. "Namun, ada sensasi yang hanya bisa kupahami sendiri. Mungkin kau bisa mengerti?"Anton mendengarkan dengan seksama, merasakan sesuatu yang membuatnya sedikit tidak nyaman.

"Bayangkan, Anton," lanjut Felix. "Sensasi saat bisa mengendalikan segalanya, ketika semua orang berada dalam genggamanmu, bahkan tanpa mereka sadari."Anton tertawa gugup, mencoba mengalihkan perhatiannya, tapi Felix menatapnya dengan tajam."Felix... apa yang sebenarnya kau bicarakan?" tanya Anton, mencoba memahami maksud temannya.

Felix hanya tersenyum kecil, lalu berdiri dan berjalan mengelilingi ruangan. "Kau tahu, Anton, ada orang-orang di luar sana yang mencoba menyingkirkan ancaman. Tapi kadang, mereka gagal mengenali ancaman yang sebenarnya ada di dekat mereka."

Anton merasakan ada sesuatu yang berbahaya dalam kata-kata itu. Seolah-olah Felix mengirimkan peringatan tanpa mengatakannya secara langsung. Malam demi malam berlalu, dan Anton terus merasa terganggu oleh bayangan Felix. Setiap kali mereka bertemu, Felix selalu memberikan isyarat-isyarat samar tentang sesuatu yang kelam, namun tidak pernah cukup jelas untuk dijadikan bukti. Di sisi lain, Anton tidak bisa sepenuhnya mengabaikan Felix karena ia merasa ada ikatan aneh di antara mereka, sebuah ikatan yang membawa Anton lebih dekat pada sisi gelap dirinya.

Pada suatu malam, Anton tak bisa lagi menahan rasa penasaran. Ia menyelinap ke kamar Felix yang terletak di bagian belakang rumah tua itu. Ketika ia membuka pintu, ia melihat sesuatu yang tak pernah dibayangkannya. Di atas meja, tergeletak foto-foto orang-orang yang hilang di desa itu, beberapa di antaranya tampak familiar. Ada catatan yang mencantumkan waktu dan tempat hilangnya orang-orang itu, serta catatan kecil dengan tulisan tangan Felix.

Tiba-tiba, Anton mendengar langkah kaki mendekat. Felix berdiri di ambang pintu, tatapannya tajam namun tersenyum."Anton," katanya pelan. "Aku tahu kau akan datang ke sini suatu hari nanti."Anton terdiam, terjebak dalam ketakutan. Ia merasa seluruh tubuhnya kaku, tak mampu bergerak. Felix mendekat, berdiri hanya beberapa inci darinya.

"Kau tahu," lanjut Felix dengan suara lembut. "Orang-orang yang hilang itu adalah mereka yang seharusnya menghilang. Dan kau, Anton... mungkin kau orang berikutnya, atau... mungkin justru kita bisa bekerja sama."Anton tidak bisa berkata apa-apa.

Di depan matanya, berdiri Felix dengan senyum yang misterius, seolah mengundangnya untuk memasuki kegelapan bersama.

Dengan demikian, Anton berdiri di ambang keputusan yang kelam apakah ia akan melaporkan Felix kepada pihak berwajib, ataukah ia akan bergabung dalam permainan mematikan yang diatur oleh temannya itu. Namun, dalam hatinya, Anton tahu bahwa ia sudah terlalu dalam untuk mundur.

CALUMNIARE

 

CALUMNIARE

(FITNAH)

Cyanss

Harta, tahta, atau nyawa? Pilihan yang sulit untuk ditentukan. Impius telah banyak mempertaruhkan nyawa orang-orang sekitarnya demi memilih sebuah keputusan yang sulit. Ia tidak dapat memiliki semuanya, ia hanya dapat memiliki salah satu dari ketiganya.

Kata orang-orang impius memilih tahta dan menggantikan posisi sang raja pada sebuah kerajaan. namun ia menolak menerima gelar raja, dan memaksa untuk memilih gelar kaisar. Dari saat itu, tak ada yang dapat menolak keinginannya. Ia pun diberi gelar kaisar dan diperbolehkan untuk memerintah seluruh negara yang ia inginkan. Impius tidak lagi dipanggil dengan namanya, melainkan Kaisar Impius pertama.

Entah apa yang terjadi setelah ia memilih pilihan tahta, dan menerima gelar kaisar. Cerita itu seakan dipotong dan disembunyikan kenyataannya. Mereka bilang Kaisar Impius meninggal karena tenggelam dalam keserakahan. Sungguh tak masuk akal? Sebagai penggemar cerita ini, aku memutuskan untuk tenggelam dalam tumpukan buku-buku yang jumahnya sampai aku sendiri lupa ada berapa. Inilah kebenaran yang aku dapat, dan aku akan ceritakan keseluruhan cerita dari awal sampai akhir kepada kalian.

            Sekitar abad pertengahan pada tahun 1401 masehi, pada abad ke-15. Para petualang menemukan seorang bayi lelaki dengan ras manusia di tengah hutan rimbun, konon katanya hutan tersebut adalah hutan berbahaya yang bernama hutan Tenebris. Tidak ada yang tahu siapa orang tua dari bayi lelaki itu. namun karena rasa simpati, para petualang tanpa pikir panjang membawa bayi laki-laki itu menuju ke desa. Para penduduk desa menyambut hangat kedatangan para petualang, sekaligus merasa terkejut melihat mereka membawa seorang bayi laki-laki. Penduduk kampung terlebih dahulu melaporkan kejadian ini kepada kepala desa setempat, atau biasa di panggil dengan nama tuan Caput.

            Setelah menerima laporan tersebut, tuan Caput pun memperbolehkan penduduk kampung untuk merawat bayi lelaki itu. Karena dari sudut pandang tuan Caput, bayi  lelaki itu adalah bayi yang memiliki nasib buruk. Karena ditumakan di dalam hutan yang berbahaya, maka tuan Caput menarik kesimpulan bahwa mungkin saja orang tua dari bayi lelaki ini  terbunuh oleh monster yang berdiam di dalam hutan Tenebris itu.

            Tuan Caput gerak cepat. Ia meminta para penduduk berdiskusi sejenak untuk memilih sepasang suami-istri untuk mengasuh bayi itu. Mereka kemudian setuju untuk memberikan hak asuh kepada sepasang suami-istri yang merupakan pengguna sihir tingkat tinggi dan ahli obat. Sang suami bernama Magicae dan sang istri bernama Pulchra. Keluarga sang suami adalah pengguna sihir tingkat tinggi, sementara keluarga sang istri merupakan ahli obat-obatan. Magicae dan Pulchra sama-sama memiliki ras peri tingkat rendah.

 ”Tuan ku, bayi itu perlu memiliki nama agar syarat hak asuh terpenuhi.” Kata salah satu pekerja di balai desa. Tuan Ciput pun menganggukan kepalanya dan berpikir untuk sejenak. ”Karena ditemukan di dalam hutan Tenebris, dan berhasil bertahan sampai ditemukan para petualang. Anak ini akan saya berinama Saltus, yang dimana artinya tak jauh dari alam.” Ucap tuan Ciput dengan senang.

            Tanpa aba-aba, orang-orang yang berada di dekat Saltus terkejut karena tiba-tiba muncul sebuah mantra serta bukti segel di belakang telinga kiri Saltus yang menyegel dirinya. Tuan Magicae bergegas mendekati Saltus, ia kemudian menghela nafas dan menggelengkan kepalanya seakan tidak percaya. ”ada apa tuan Magicae? Apa yang terjadi?” tanya tuan Caput yang mendekati Saltus bersama Pulchra. Magicae menoleh ke arah tuan Caput dengan wajah bimbang. Melihat wajah suaminya, Pulchra mendekati Magicae untuk menenangkannya. ”Ini.. ini adalah segel Servus Low, segel ini akan aktif apa bila penerima segel menerima sebuah nama.” Jawab Magicae. ”Lantas apa yang membuat mu begitu terkejut?” Tanya Pulchra yang masih menenangkan Magicae. ”Segel ini, mantranya sulit untuk dirapalkan. Di tambah lagi, ini adalah segel budak tingkat rendah..  Segel kuno” Jawab Magicae yang sedang menghelus kepala Saltus. ”Tidak adakah cara untuk menghilangkan segel itu?” Tanya tuan Caput. Pulchra menoleh ke arah tuan Caput dan perlahan menggelengkan kepalanya. Kejadian ini membuat tuan Caput percaya, bahwa Saltus memang memiliki nasib yang buruk. Perubahan suasana di dalam ruangan begitu cepat, membuat mereka memutuskan untuk membiarkan Saltus beristirahat.

            Para petualang kembali menuju ke kedalaman hutan Tenebris bersama dengan beberapa perkerja balai desa untuk menyelidiki tempat ditemukannya Saltus. Namun, sekeras apa mereka mencari barang bukti ataupun puing-puing kendaraan yang mungkin saja hancur. Mereka tetap saja tidak menemukan petunjuk apapun. Penyelidikan berlangsung selama beberapa bulan, sampai akhirnya terhenti karena para petualang harus lanjut mengembara ke desa lain.

            Bertahun-tahun berlalu, tidak ada masalah baru muncul di dalam kehidupan Saltus yang kini sudah berusia 13 tahun. Untuk segel budak kuno milik Saltus. Magicae memutuskan untuk menutupi tanda segel itu dengan menggunakan sihir penyamar tingkat tinggi. Selama menetap bersama Magicae dan Pulchra, Saltus banyak belajar dari mereka. Mulai dari sihir-sihir rendah hingga ke tingkat sedang, dan juga cara pembuatan obat yang berkualitas.

            Saltus sangat berbakat, bahkan beberapa anak di desanya memanggil Saltus dengan sebutan ’temuan yang jenius’. Banyak anak-anak yang ingin belajar dari pencapaian Saltus. Namun tak sedikit pula yang merasa iri akan kemampuannya yang hebat. Tapi disamping itu semua, Saltus tetap hidup dalam kedamaian karena ia berada di bawah proteksi tuan Caput.

Kedamaian di desa tempat tinggal Saltus berlangsung selama beberapa tahun. Namun, disaat Saltus berpijak di umur 15 tahun. muncullah suatu masalah yang cukup besar di desanya. Munculnya suatu organisasi pemberontak di ibukota kerajaan yang hanya memberontak desa-desa kecil tanpa perlindungan pihak kerajaan membuat resah desa-desa kecil di negara itu. Tuan Caput sudah bersiap untuk menghadapi para pemberontak itu, ia mengumpulkan orang-orang yang tergolong kuat didesanya. Ia bahkan meminta beberapa petualang untuk berjaga di desa. Tentu saja Saltus ikut membantu, walau keinginannya untuk membantu di bantah oleh tuan Caput. Itu karena Saltus adalah anak emas tuan Caput.

”Kakek, kenapa kakek tidak mengizinkan saya untuk membantu?” Tanya Saltus yang merasa sedikit kesal dengan kelakuan tuan Caput yang kekanak-kanakan. ”Kamu mau paman Magicae marah padamu? Kamu tahu sendirikan kalau paman Magicae tidak mau kalau kamu ikut serta dalam hal kacau seperti ini.” Balas tuan Caput memberikan alasan kepada Saltus. Sebenarnya Magicae tidak begitu peduli terhadap apa yang dilakukan oleh Saltus. Selama itu tidak membahayakan dirinya maka ia akan memberikan izin tersebut kepada Saltus.

            Saltus merasa kesal akan kelakuan tuan Caput yang terlalu kekanak-kanakkan. Ia mengerang kesal dan akhirnya mengalah, ia pun pergi dengan perasaan kesal. Tuan Caput hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya saat melihat Saltus pergi. Selama beberapa hari, tuan Caput telah mempersiapkan dengan matang semua hal yang harus dilakukan saat para pemberontak itu datang. Dari persenjataan, stok makanan, jalur evakuasi, persediaan obat-obatan, para sukarelawan, segel sihir sebagai perlindungan dan lain sebagainya. Tuan Caput sudah sangat yakin para pemberontak dari luar itu tidak akan mampu untuk menghadapi mereka. Namun ia salah, tentu keamanan dari luar sudah sangat ketat. Para petualang dan penduduk kampung berpatroli siangmalam di luar gerbang desa. Di luar. Keamanan diluar gerbang sangat ketat, mereka sampai melonggarkan keamanan di dalam desa karena hal itu. Tuan Caput sendiri bahkan tidak sadar.

            Di desa tempat tinggal Saltus, mereka terdiri dari banyak macam ras dan kepercayaan. Hampir semua ras berada di desa tempat tinggal Saltus. Termasuk ras kuno Gorgon atau Medusa. Dengan banyak nya ras dan kepercayaan di desa itu, tentu itu akan menguntungkan para pemberontak. Mereka bergerak dalam bayangan dan secara konstan mulai membuat rumor tentang masing-masing ras dan ras mana yang menyebar rumor itu. Adu domba itu terus berlanjut. Dari para penduduk desa yang hanya mendiamkan rumor-rumor buruk itu, hingga akhirnya menjadi masalah besar. Mereka mulai menyakiti satu sama lain secara terang-terangan. Tuan Caput akhirnya mendengar berita ini setelah hampir beberapa hari mempersiapkan keamanan di luar gerbang masuk. Adu domba itu berlangsung hanya dalam lima hari, namun sudah membuat kekacauan yang dimana tuan Caput harus turun tangan untuk membawa kembali kedamaian antar ras. Keadaan desa semakin kacau. Hilangnya pengawasan tuan Caput membuat beberapa pemberontak yang menyamar sebagai sukarelawan membalikkan keadaan. Mereka melawan penjaga gerbang sembari mengajak pemberontak luar lainnya untuk ikut mengacaukan keadaan. Pemberontak itu berbuat seenaknya. Mencuri persediaan makanan, persediaan obat-obatan, persenjataan, harta desa, bahkan membawa para wanita remaja bersama mereka. Bahkan Pulchra dan Magicae menjadi sasaran para pemberontak. Mereka tak dapat melawan para pemberontak karena adanya segel sihir yang di alih gunakan oleh para pemberontak untuk menyegel kemampuan mereka.

’aku seharusnya mengabaikan perkataan kakek.’

            Ucap Saltus dalam suatu buku. Sebelum peristiwa adu domba, Saltus yang masih merasa kesal dengan kelakuan tuan Caput memutuskan untuk pergi berdiam diri di ladang miliknya yang jaraknya lumayan jauh dari desa. Saltus pergi tanpa mengabari Pulchra dan Magicae, membuat mereka khawatir akan keadaan Saltus. Kekhawatiran itu membuat mereka lengah. Sampai mereka tak sadar akan keadaan dan akhirnya ikut tertangkap. Saltus kembali ke desa saat para pemberontak telah pergi.

”A, apa yang terjadi? Seharusnya tidak seperti ini.” Gumam Saltus dengan perasaan yang  campur aduk. ”Kata kakek.. Semuanya aman, terkendali. Mengapa?” Gumamnya lagi sembari menggosok matanya, ia masih tak percaya. Ia perlahan berjalan kedalam desanya yang telah menjadi reruntuhan dalam waktu yang singkat, ”Benar! Paman, paman dan bibi! Mereka pasti sedang menunggu ku.” Seru Saltus. Ia pun bergegas menuju kerumah Magicae, rumah miliknya, istana ternyaman. Lenyap. Rumah itu hangus terbakar. Melihat rumah tersayangnya hangus dilahap api, air matanya menetes. Tidak. Air matanya meluap, ia jatuh berlutut di depan abu rumahnya sambil menangis sesenggukan. ”Paman, bibi... kakek. Apa yang sebenarya terjadi? Dimana semua orang?” Gumam Saltus.

’disaat itu aku merasa benar-benar hancur, ini kesalahan pertamaku.’

’Aku takkan menahan diri’

            Kata Saltus yang tertulis dalam buku lainnya. Itu benar, karena disaat itu Saltus melepaskan semua energi sihir yang ia simpan. Energi sihir yang ia lepaskan sangat besar, sampai memicu suatu ledakan dhasyat yang menghancurkan sebagian besar dari desanya yang telah rusak. Energi sihirnya murni. Murni akan rasa dendam dan kebencian.

Energi sihir Saltus yang meledak-ledak akhirnya menjadi lebih tenang setelah ia jatuh pingsan karena kekurangan energi sihir. Saltus pingsan kurang lebih selama tiga hari berturut-turut.

Selama Saltus belum menyadarkan diri, ia kembali diselamatkan oleh sekelompak petualang yang sedang mengembara. Para pengembara itu membawa Saltus menuju ke kota Magnus, atau ibukota kerajaan. Di kota Magnus, Saltus di istirahatkan di sebuah kelinik terkenal. Kelinik itu merawat Saltus dengan baik sebelum para pengembara menjelaskan tentang situasi yang Saltus hadapi. Setelah menjelaskan tentang keadaan Saltus, para dokter di kelinik itu mulai waspada dan mengetatkan keamanan ruangan tempat Saltus di rawat. Entah apa yang disampaikan oleh para petualang itu kepada pihak kelinik. Yang jelas mereka meninggalkan Saltus sendiri di kelinik itu sebelum ia siuman. Sehari setelahnya, para doter menumakan penyebab mengapa Saltus jatuh pingsan. Yakni karena kehabisan energi sihir yang menjadi sumber stamina bagi kehidupan disana. Bukti yang didapat para dokter memperkuat penjelasan yang disampaikan oleh para petualang, mereka kembali mengetatkan keamanan di dalam ruangan Saltus.

Hari ke tiga, Saltus akhirnya mendapat energi sihir yang cukup untuk pulih seutuhnya dan ia pun akhirnya siuman. Saat Saltus terbangun ia mendapati dirinya desambut dengan todongan pedang dari berbagai sudut ruangan yang mengarah kepadanya. Melihat hal itu, Saltus sontak terkejut dan duduk diam di atas kasur tempatnya beristirahat. Saltus yang tiba-tiba bergerak itu memicu para penjaga untuk memojokkan Saltus kembali kekasur untuk berbaring. Saltus yang kembali berbaring dikasur merasa kebingungan. ’mengapa aku berada dalam situasi ini?’ adalah kalimat pertama yang muncul di dalam kepala Saltus.

”Maafkan saya. Tapi siapa kalian? Dimana ini? Dan mengapa saya berada disini?” Tanya Saltus dengan nada tenang. Namun sebenarnya Saltus merasa sangat panik. ”Hei, akting mu bagus juga nak. Tapi mana ada iblis yang tidak sadar diri sepertimu!” Sahut seorang penjaga kepada Saltus. Saltus kemudian semakin merasa kebingungan, ia perlahan duduk di atas kasur sambil melihat ke arah para penjaga itu. ”Iblis? Saya? Saya seorang iblis?” Saltus kembali bertanya untuk memastikan.

Para penjaga hanya terdiam tidak sedikitpun menurunkan todongan pedang mereka. Saltus menghela nafas panjang dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. ’Baru saja bangun rasanya seperti saya ingin tidur lagi.’ Pikir Saltus saat itu. Ia kemudian melihat ke arah penjaga yang tadi menyahut kepadanya. ”Bisakah setidaknya jelaskan mengapa saya bisa berada disini?” Usul Saltus dengan suara yang serak. Para penjaga mengangguk dan salah satu dari mereka kemudian mendekati Saltus untuk memborgol tangannya menggunakan sebuah borgol besi yang dilapisi dengan energi sihir yang kuat. Menyadari hal itu Saltus kemudian berpikir bahwa para penjaga ini bukanlah penjaga gadungan.

Saltus kemudian di bawa ke suatu ruangan yang berada di dalam kelinik yang besar itu. Tidak ada buku lain yang menjelaskan tentang ruangan itu dan apa percakapan mereka. Namun, setelah Saltus keluar dari ruangan itu ia terlihat sangat kesal. Energi sihirnya kembali meledak-ledak dan membuat borgol besi yang mengamankan tangannya hangus menjadi abu. Namun energi sihirnya kembali menjadi normal setelah para penjaga menggunakan batu penyerap energi sihir untuk menyerap sihir Saltus.

Saltus melihat ke arah penjaga yang memegang batu sihir itu dan merampas batu itu dari sang penjaga. ”Hey, kalian masih belum mengatakan dimana kita sekarang. Sebaiknya kalian cepat katakan atau aku ledakkan batu sihir ini.” Ancam Saltus yang masih merasa kesal. Ia kemudian menggenggam erat batu sihir itu seolah ia kan segerah meledakkannya sekarang juga. ”Dasar orang bodoh. Kita berada di ibu kota. Kota Magnus.” Jawab penjaga itu dengan perasaan kesal. Saltus kemudian memalingkan wajahnya dari penjaga itu. Ia mengantongi batu sihir itu dan keluar dari kelinik. ”Dan nak, sebaiknya kamu pergi mengasingkan diri. Agar kamu tidak melakukan hal bodoh lainnya.” Sahut sang penjaga saat Saltus pergi.

Penjaga itu benar, Saltus adalah orang yang bodoh. Karena Saltus tak pernah keluar dari desa tempat tinggalnya dulu, ia jadi kurang pergaulan. Ia bahkan tidak tahu bahwa ada tempat lain selain desanya. Aku tidak dapat menemukan buku yang menjelaskan tentang perjalanan Saltus. Namun, dibuku yang sama aku menemukan bahwa Saltus mendapat beberapa julukan baru dari orang yang ia tolong selama berpetualang. Beberapa julukan itu adalah ’pahlawan tak pandang bulu’, ’dokter suci’, dan ’manusia seribu bakat’. Julukan-julukan itu adalah julukan yang sering muncul dalam setiap buku yang menjelaskan tentang Saltus. Tentu saja ada julukan yang lain dan itu dibuat oleh sebuah organisasi yang sangat membenci keberadaan Saltus. Yakni ’Duplex’, arti dari julukan itu sendiri belum ditemukan. Namun dapat dipastikan bahwa arti dari kata itu adalah sebuah kejelekan. Karena tidak peduli seberapa baiknya dirimu, kamu akan tetap jahat di dalam cerita orang lain.

Saltus berpetualang selama 5 tahun lamanya, sekarang ia sudah berumur 20 tahun. Saltus merasa senang karena mengikuti saran penjaga itu. Namun ia masih kesal dengan cara penjaga itu menyampaikannya. Selama berpetualang, Saltus merasa bahwa dia ada di bawah pengawasan seseorang. Ia selalu merasa bahwa ia sedang diikuti selama beberapa tahun tanpa henti. Tentu saja Saltus merasa kesal, namun selagi para mata-mata itu tidak mengganggunya maka ia hanya akan mengabaikan mereka.

 

 

Saltus bahkan dapat mendengar bisikan mereka yang sedang menjelek-jelekkan dirinya. Namun, dari semua kata-kata yang mereka sebutkan, hanya kalimat ”anak ini sangat bermasalah, mereka bahkan tak mau mengurusnya”, dan ”bagaimana bisa anak sekuat ini milik sampah seperti mereka” yang melekat di kepala Saltus. Siapa mereka? Dan dimana mereka? Adalah kedua hal yang ingin ia tanyakan secara langsung kepada para mata-mata itu.

Saltus memikikan hal-hal itu selama ia berjalan menuju ke arah ibu kota kerajaan Hype. Sebuah kerajaan kecil yang hidup secara makmur, terletak di sebelah selatan kerajaan Magnus dan dipisahkan oleh pegunungan tinggu yang tandus. Meski kehidupan di kerajaan Hype makmur, Saltus tidak berniat untuk menginap disana atau bahkan menetap. ”Sebaiknya Duplex ini tidak pergi ke kerajaan Hype.” Adalah sebuah bisikan dari para mata-mata yang membuat ia penasaran akan kerajaan itu.

Sesampainya di pintu gerbang kota Hype, Saltus di hadang oleh para penjaga gerbang. Tentu saja itu hal yang wajar, Saltus adalah orang asing yang berpakaian seperti pemulung. ”Siapa kamu? Apa tujuan mu ke kota kami?” adalah pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulut  salah satu penjaga. ”Hei sopanlah sedikit.” Tegur temannya. Saltus yang melihat kelakuan mereka hanya tertawa kecil. Kerajaan ini sangat makmur, sampai penjaga gerbang mereka pun terlihat baik-baik saja. Tawa kecil Saltus membuat para penjaga itu menoleh ke arahnya. Saltus kemudian melihat ke arah mereka. ”Saya adalah Saltus. Saltus ’pahlawan tak pandang bulu’, ’dokter suci’, dan ’manusia seribu bakat’. Jawab Saltus dengan sombong. ”ohh.. Kamu adalah ’si petualang solo’ itu?” Tanya penjaga itu. ”Siapa lagi yang buat julukan itu?” Tanya Saltus sambil menghela nafas. ”Entahlah itu tersebar begitu saja.” Jawab penjaga yang sopan.

Setelah berbasa-basi selama beberapa menit bersama para penjaga gerbang. Saltus akhirnya diperbolehkan untuk masuk kedalam kota, tentu saja dengan banyaknya julukan membuat Saltus terkenal. Namun Saltus adalah seorang penyamar yang ahli. Tidak banyak orang mengenali wajahnya dengan baik. Selama berada di kota Hype, Saltus merasa bahwa keberadaan para mata-mata itu bertambah banyak dan itu mulai membuat saltus merasa sedikit tidak nyaman. ”Mungkin saja markas mereka disekitar wilayah ini.” Gumam Saltus pada dirinya sendiri, terlihat sedikit semangat. Disaat Saltus sedang menyelusuri sebuah kompleks kecil yang mengarahkan dirinya semakin dekat ke kastil kerajaan. Saltus berhenti sejenak dan menyadari bahwa ia selalu dihadang oleh masalah-masalah yang terlihat dilakukan secara sengaja oleh sekelompok orang kepada dirinya. Pada saat itu pula Saltus merasakan bahwa para mata-mata itu tidak lagi mengawasinya. ”Apakah saya sungguh tidak di perbolehkan untuk pergi ke kastil?” Gumam Saltus sambil tertawa kecil.

Ketika Saltus bergumam, ia merasakan keberadaan aura haus darah saat ia sudah mendekati kastil kerajaan. Aura dari seseorang yang ingin menyiksa korbannya dengan sangat kejam adalah hal yang Saltus sangat benci. Dengan keberadaan aura itu, ia tetap berjalan dengan santai seakan ia tidak merasakan keberadaan aura itu. Saat mendekati gerbang kastil kerajaan, ia merasakan bahwa aura haus darah itu terus bertambah seiring langkah kakinya. Pada saat itu pula ia berhenti melangkah. Tanpa aba-aba, muncul dua orang mata-mata yang menggunakan pakaian serba putih tertutup. Salah satu dari mata-mata itu menggunakan sebuah kain yang basah untuk menutupi hidung dan mulut Saltus, kemudian teman mata-mata itu memegang erat tubuh Saltus dengan bantuan sihir penguat kuno. Saltus merasa sedikit terkejut. ”Trivam Propofol?” Tanya Saltus yang kemudian jatuh pingsan.

Setelah beberapa menit tidak menyadarkan diri. Saltus akhirnya terbangun dengan perasaan terkejut yang membuatnya terlempar kearah depan. Namun ia terhentikan, karena tubuhnya yang duduk terikat disebuah kursi. Ikatan itu sendiri diperkuat dengan mantra-mantra kuno. Ia diam sejenak, dan akhirnya kesadarannya kembali seutuhnya. Ia merasakan sensasi menyengat yang sangat menyakitkan di belakang telinga kirinya. Sensasi itu tidak kunjung menghilang, membuat Saltus merasa kesakitan. Saat Saltus sedang berpikir, ia merasakan keberadaan energi sihir yang begitu besar. Bahkan sampai melampaui energi sihir miliknya. Ia sontak mendongakkan kepalanya untuk melihat sumber energi itu. Benar saja, di hadapannya, ada sebuah alat kuno yang digunakkan untuk menyetujui nasib seseorang. ”Pilihan mutlak?” Gumam Saltus yang masih merasa kesakitan.

Saltus merasakan seseorang menyentuh pundaknya dari arah belakang, dan saat itu juga ia merasakan keberadaan aura haus darah itu kembali. ”Kepingan terakhir. Tak ku sangka aku akan membuntuhkan beban seperti diri mu untuk hal ini.” Bisik orang itu kepada Saltus. Saltus tidak dapat menjawab bisikkan itu, ia kehilangan fokus karena sensasi menyengat  di belakang telinga kirinya. Saltus hanya bisa bernafas berat untuk membuat dirinya tetap terjaga. ”Yah.. Ternyata segel budak ini sangat berguna.” Ucap orang itu sembari menghelus segel budak Saltus. Mendengar hal itu, Saltus menegakkan pandangannya dan menoleh ke arah orang itu. Orang itu, tidak. Lelaki itu tersenyum manis. ”Wajah mu..” bisik Saltus. Saltus merasa terkejut. Wajah lelaki itu sangat mirip bahkan sama seperti wajah Saltus. Lelaki itu tertawa kecil dan berjalan ke arah alat kuno di depan Saltus. ”.. Mengapa kamu berhenti berjalan, saat kamu tahu betul bahwa hal seperti ini akan terjadi?” Tanya lelaki itu. ”Apakah kamu sedang mencari seseorang? Tidak, dua orang? Ras peri.” Tanya lelaki itu dengan nada datar.

Saltus yang kemudian menyadari suatu hal menoleh ke arah alat kuno itu. Benar, alat kuno sebesar itu membutuhkan enerhi sihir yang sangat besar. Yang dimana membutuhkan sekitar 30 orang ber ras peri untuk mengisi energi sihir alat itu. ”Hei, jangan bilang kamu..?” Gumam Saltus yang sudah merasa kesal.

Ayolah, jangan seperti itu. Ini memerlukan 4 tahun lamanya untukku memperbaiki rongsokan itu.” Jawab lelaki itu sambil tersenyum. ”Dan akhirnya, setelah kerja keras tanpa henti. Aku dapat memperbaikinya. Ini sangat sepadan dengan kehidupan imortal ku!” Seru lelaki itu sambil tertawa kecil. ”Hey nak. Ingat nama ayah mu ini. Ayah mu ini bernama Impius.” kata lelaki itu yang berjalan ke arah Saltus. Saltus hanya bisa terdiam, lelaki itu adalah ayahnya. Saltus masih tidak mengerti dengan keadan saat ini. Impus, lelaki itu. Perlahan menghelus rambut hitam Saltus. Elusan lembut itu kemudian menjadi jambakan kasar yang membuat Saltus merintih kesakitan. Dibuat tak berdaya olehnya adalah hal yang sangat memalukan. ”Semuanya dapat selesai seperti ini, dan mereka akan mau tidak mau menerima keberadaan ku.” Ucap Impius dengan perasaan senang. Impius mendongakkan kepala Saltus dengan jambakan rambut itu. ”Tapi rongsokan itu menolak ayahmu ini untuk berkuasa. Rongsokan itu memilih mu, itu membuat ayah sedikit cemburu. Padahal dirimu ini sangat lemah.” Hina Impius. ”Tetap saja, itu berjalan dengan mulus karena segel budak ini.” Kata Impus.

 Impius kemudian mendorong kursi Saltus kedepan dan mendekatkan Saltus kepada alat kuno itu. Alat kuno itu sekarang hanya selangkah dari Saltus. ”Hey, kenapa ini tidak berfungsi” Gumam Impis dengan rasa kesal. Impius mengangkat kedua bahunya dan melihat ke arah Saltus. Ia menghelus segel budak Saltus, dan memberikan sejumlah besar energi sihir kepada Saltus. Arus energi sihir yang besar masuk secara tiba-tiba ke dalam tubuh Saltus membuatnya menjerit kesakitan. Rasanya seperti ia akan meledak karena energi sihir yang berlebihan di dalam tubuhnya. Rasa sakit itu bertambah dan membuat pandangan Saltus memudar. Rasa sakit itu berasal dari alat kuno yang menarik paksa energi sihir dalam tubuh Saltus. ”Hmm.. ternyata kamu kekurangan energi sihir, untungnya itu mudah untuk di atasi.” Ucap Impius yang masih memompa energi sihir didalam tubuh Saltus.

Akhirnya rasa sakit itu berhenti. Alat kuno itu sekarang bersinar didepan mereka. Ruangan itu jatuh hening di telinga Saltus. Impius terlihat bersemangat, ia mendekati alat kuno itu. Sebelum dapat melakukan sesuatu, alat kuno itu menelan semua cahaya dan membawa mereka ke ruang hampa. ”Harta, Tahta, atau Nyawa?” Bisik ruang hampa itu. Mendengar itu emosi Impius meledak-ledak. Impius melihat ke arah Saltus yang sedang dalam keadaan setengah sadar. ”Anak bodoh ini. Bagaimana bisa dia memanipulasi ruangan hampa. Sekarang hanya ada 3 pilihan. Bukan lagi profesi. Apa bagusnya itu?” Gumam Impius yang masih merasa kesal. ”Harta, Tahta, atau Nyawa?” Tanya alat kuno itu kembali. Impius hanya terdiam sambil melihat ke arah Saltus. Saltus kemudian mendapat kembali kesadarannya. ”Nyaw-” ”Saltus, ini perintah. Pilih lah Tahta, atau mati.” Potong Impius. Dengan ucapan Impius segel budak Saltus beraksi. Segel itu membakar leher Saltus, membuat Saltus menjerit kesakitan. Melihat dirinya yang mulai terbakar, Saltus melihat ke arah ruang hampa itu dan teriak. ”Aku memilih Tahta!” Seketika ruangan itu meluapkan kembali semua cahaya yang ia telan. Impius hanya tertawa gembira sambil menyaksikan ledakan cahaya yang dihasilkan dari pilihan itu.

Dengan begitu, alat kuno mengikuti keinginan Impius. Menyadari hal itu, Impius teriak ”Jadikan aku kaisar!” karena keinginan yang dipaksakan, ruangan itu meledak. Api itu menelan Saltus dan Impius, dan meluap keluar dari ruangan itu. Ledakkan besar itu menghancurkan keseluruhan kerajaan Hype dan menewaskan orang-orang yang berada di dekat ledakan itu. Setelah satu minggu berlalu. Saltus dinyatakan tewas tertelan api dan Impius berada dalam pelarian. Impius tidak pernah merasa sangat kesal semasa dia hidup sebelumnya, bagaimana bisa Saltus mati hanya kerena ledakan kecil itu. Yang membuat Impius sangat kesal adalah teman kerjanya, teman kerja Impius melaporkan semua hal yang terjadi. Bukan hanya itu, teman kerjanya bahkan memfitnah Impius bahwa Impius berusaha mengambil gelar kaisar yang diberikan oleh alat kuno kepadanya. ”Dasar bajingan bermuka dua. Akan ku bunuh kau, pak tua Caput.” Gumam Impius yang merasa kesal. Sayangnya niat Impius untuk membunuh tuan Caput terhalang. Karena tuan Caput lebih dulu mati karena efek keserakahan yang diberikan oleh alat kuno itu.

Selama beberapa tahun, nama Saltus maupun Impius tidak lagi terdengar di dalam kehidupan masyarakat pada saat itu. Keberadaan mereka seketika lenyap dan bahkan hanya menjadi sebuah legenda. Dan keadaan itu, terus berlangsung hingga saat ini. Di saat aku menceritakan ini semua kepada kalian. Hey, apakah kalian merasa janggal? Kira-kira kemana Impius pergi ya? Orang itu kan imortal. ”sudah selesai mengocehnya?” ... sudah kok, tidak perlu seperti itu tahu, dan bisa kah dirimu itu bertindak lebih misterius? Impius? ”Hey. Kita sepakat bahwa aku telah membuang nama itu.” Terserah mu saja, kamu membuat cerita ini tidak misterius lagi. ”Mm.. ada yang marah.” Diam Calum.

 

Harta, Tahta, atau Nyawa?

Langit Biru

Langit Biru Ynofilicious       Hari ini, merupakan hari yang terasa sama saja seperti hari-hariku kemarin. Tidak ada yang berbeda. Roda ...