Gelap
Karya : Ynofilicious
Apa lagi yang harus kulakukan sekarang? Semua keluargaku sudah menyerah dan memilih meninggalkan saudara mereka sendiri? Aku sebagai seorang anak tertua dikeluargaku harus menerima semua ini dan menjalaninya. Bagaimanapun juga dia adalah Ayahku. walaupun sekarang ayah menderita PTSD dan akal sehatnya terganggu akibat kejadian masa lalu yang seakan tidak ingin teringat Kembali, bahkan aku ingin menghilangkan kenangan itu.
Masa remajaku dihiasi dengan pemandangan yang sangat tidak familiar, yang seharusnya hanya terjadi di film atau drama itu terjadi juga di hidupku. Ruang makan keluargaku penuh dengan darah, diantara darah itu tergeletak tubuh ibu dan adikku yang sangat kusayangi terlihat ayahku dengan baju dan wajah bersimbah darah sedang menangis tersedu-sedu memeluk kedua tubuh yang sudah kaku itu. Aku tercekat, marah, sedih, bingung menjadi satu dalam hatiku. Perlahan kudekati mereka bertiga dengan air mataku yang mengalir tanpa henti. Aku bahkan tidak bisa menangis dengan suara. Seluruh badanku bergetar hebat, bau amis darah menyumbat hidung dan tenggorokkanku meresap ke dalam hati dan pikiranku.
Beberapa hari yang lalu adik perempuanku menelponku sambil meminta alat lukis sambil mengatakan ‘Aku sayang kakak’ itu Kembali terngiang-ngiang ditelingaku dengan wajah manisnya yang sering tersenyum padaku. Kupukuli dadaku yang terasa sangat sakit berharap sakitnya berpindah di tempat lain, aku masih berharap semua ini mimpi. Aku yang lemah duduk terdiam dilantai melihat pemandangan itu dengan mata lelah, kuusap air mataku berusaha mencerna dengan kesadaran yang hanya sedikit tersisa. Masa remajaku sudah berubah dan tidak akan lagi sama dengan rencanaku yang sudah kutentukan akan menjadi seperti apa. Tuhan benar-benar telah memberikanku rencana yang sangat tidak terduga dan tak bisa kuhindari selama ku menghabiskan umurku.
Aku berusaha mengisi kekosongan, kehampaan, kesedihan dengan melakukan banyak hal, berharap semuanya akan membaik sejalan umurku bertambah. Nyatanya tidak malah semuanya semakin terasa gelap, sesak, dan menyakitkan. Kini aku si anak sulung, harus menanggung beban kehidupan dan kesedihan ayahku yang menjadi hilang akal dan menderita PTSD gejala yang dialami korban pasca pembunuhan. Masalah hutang piutang yang tiba-tiba muncul entah dari mana hingga membuat kami berdua harus hidup di jalanan karena membayar utang tersebut. Apakah aku harus marah? Tentu aku ingin marah. Tapi pada siapa? Aku bahkan tidak sanggup memaki diriku sendiri. Aku tak mau sampai diriku sendiri tidak punya siapa-siapa di dunia yang sangat kejam ini
Malam ini aku menatapnya dari luar pintu kamar Rumah sakit jiwa. Menatapnya sambil tersenyum sebaik mungkin, karena ayah sedang menatapku sambil tersenyum. Wajahnya dipenuhi luka sayatan benda tajam. Hatiku sangat hancur begitu mendengar pihak rumah sakit menelponku, karena ayah sedang mencoba bunuh diri menggunakan garpu yang berusaha ia tancapkan pada dadanya sendiri.
Untung saja aku bergegas ke rumah sakit dan membujuk ayahku, alhasil tanganku pun terluka karena ayah menancapkan garpu tersebut tepat ditangan kananku. Hampir saja aku memaki ayahku saat itu sembari mengatakan, “Apa kau bodoh ayah? Haruskah ayah mati saja?” Tapi dimana ku simpan hati nuraniku sebagai anaknya? Ayah adalah ayah terbaik seumur hidupku dan tidak ada ayah lain selain dia yang paling sempurna untukku, Ibu dan Anne.
Aku mengusap pundak ayahku dan menenangkannya. Raut wajahnya menyiratkan segalanya. Raut wajah sinis ditujukan padaku itu seakan menusuk jauh masuk kedalam hatiku. Apa ia pikir aku ini adalah si penagih hutang makanya ia menusukku? Sempatnya aku tersenyum dalam keadaan dengan lelucon recehku ini.
“Ayah, ini aku anakmu.” Ucapku lembut. Mendengar suaraku, mata ayahku berubah. Ayahku menjauh dariku sambil mengambil ketakutan mengambil segala sesuatu untuk memukulku.
“Menjauh dariku, dasar pembunuh…. Pembunuuuhhhhh!!!!!!” Teriak ayahku dengan suara yang melengking melempariku dengan bantal dan guling. Apa sebenarnya yang terjadi? Ayahku yang setelah bertahun-tahun tak pernah berbicara, aku kira ayah akan mengingatku walau hanya sebentar. Ternyata kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah menyebutku sebagai seorang pembunuh. Aku segera menghampiri ayahku yang menjadi tidak stabil lagi.
“Ayah, ini aku anakmu. Raf. Apakah ayah tidak mengingatku?” ucapku
“Pembunuh… pembunuh. Kembalikan istriku dan Anne kepadaaakuuuuu!!!!!!” Bentak ayah sambil mengambil kerah leherku.
Sudah sejak lama aku bisa menatap wajah ayahku sedekat ini. Padahal dulu kami berempat sering sekali bermain dan bercengkrama bersama. Menghabiskan waktu dengan tertawa. Lagi-lagi air mataku mengalir, padahal sudah sekuat tenagaku tahan semuanya dihadapan ayah, aku berusaha sedang berusaha menahan semuanya dengan hati yang sudah tidak utuh lagi.
“Kembalikan merekaaa… kembalikan…” ucap ayah pelan sambil terduduk di kakiku sambil menangis tersedu-sedu. Pandanganku menjadi kabur karena air mataku sendiri. Aku ikut duduk di hadapannya mengusap wajahnya yang penuh luka itu.
Tiba-tiba tatapan ayah berubah sambil menatapku. Entah apa yang sedang dipikirkan ayah malam itu. Rasa takut menghantuiku, seketika ruang kamar itu berubah menjadi ruang makan keluarga ku. Darah Dimana-mana, tanganku dipenuhi darah. Tubuh ibu dan Anne ada bersama kami tergeletak sama persis pada hari itu. Nafasku sesak, dadaku terasa sakit, keringat mengucur deras membahasi tubuhku.
Ayah tertawa sambil melihatku, yang ketakutan. Tawanya begitu lepas seperti tanpa ada beban. Senyuman itu sangat berbeda saat ayah terseyum padaku dulu. Ayah mengambil pisau kecil dibawah kasurnya diperlihatkan pisau itu padaku. Ayah mendekatiku tanpa ragu.
“Aku harus membunuhmu disini. Mari kita akhiri disini Raf.” Ujar ayahku. Aku tidak percaya apa yang diucapkan ayah. Namaku. Ayah mengucapkan namaku.
“Ayah ingat padaku?”
“Tentu saja. Karna kaulah yang membunuh Ibu dan Adikmu.” Jelas ayah. Nada lirih dan datar itu makin membuat malam terasa panjang. Aku seperti terjebak di dalam ruang sempit dan gelap tak ada Cahaya. Apa yang dikatakan ayah? Padahal bukan aku pelakunya. Aku baru saja pulang kerumah setelah bermain futsal bersama teman-temanku lalu mendapati semuanya sudah terjadi.
Apakah ingatan itu nyata? Ataukah aku hanya berhalusinasi? Ataukah memang akulah pembunuh ibu dan Anne? Ataukah Ayah… Tanpa pikir panjang ayah langsung menusuk Kembali luka di dadaku. Entah mengapa kali ini terasa sangat sakit dibandingkan pagi tadi. Darah mengucur dari dadaku. Naluri bertahan diriku bangkit ku lepaskan tangan ayah yang menancapkan pisau itu. Entah dari mana kekuatan ayah itu berasal. Tangannya tidak bergeming sama sekali. Ayah hanya tersenyum melihat anak laki-lakinya kesakitan di tangannya sendiri. Nampaknya ayah sangat puas melihat aku kesakitan, sambil memohon untuk dilepaskan. Disisa tenagaku, kuputuskan untuk memakai kekuatanku untuk menyerang ayahku sendiri. Aku memukul jakun ayah dengan sekuat tenaga, sehingga membuat ayah melepaskan tangannya dari pisau yang ditancapkan ke dadaku.
Aku menangis tersedu-sedu menyadari apa yang terjadi padaku hari itu. Mengapa semua penderitaan ini harus ku alami. Apa yang harus kuperbuat. Apakah aku akan mati disini? Aku berteriak sekuat tenaga, menghampiri ayahku dan menjatuhkannya dilantai. Tentu saja ayah juga melawan sambil mencekik leherku, kupukuli lagi wajah ayah yang luka berulang kali hingga wajahnya berdarah lagi. Lagi-lagi ayah hanya tersenyum melihatku, senyuman itu makin membuatku kesal dan hilang kendali aku sudah tidak ingat lagi tentang bagaimana ayah yang menyanyangi dan menjagaku. Ada banyak hal yang ingin ku tanyakan padamu ayah, apa yang sebenarnya terjadi hari itu, mengapa hanya aku yang tidak tau apa-apa.
“Apa yang terjadi pada ibu dan Anne hari itu ayah?” ayah tidak menjawabku dan hanya tertawa
Aku pasti sudah melakukan dosa terbesarku, apa yang sudah kulakukan sebagai seorang manusia? Bahkan apakah aku pantas menyebut diriku manusia. Ayah tiba-tiba menarik pisau dari dadaku dan menancapkannya kembali. Darah menyembur dari mulutku mengenai wajah ayahku. Pandanganku mulai kabur, entah karena darahku yang semakin habis ataukah aku juga akan mati ditangan ayahku malam ini.
“Kau sudah cukup lama menderita Raf, mari kita akhiri takdir buruk ini.” Ucap ayah ditelingaku mengambil pisau dari dadaku dan menancapkannya kejantungku. Aku tergeletak dengan 5 luka tusukan di dada kanan, dan satu tusukan dijantungku. Disisa kesadaranku aku melihat ayah mengusap wajahku sambil tersenyum. Lalu berbisik. “Ayah sangat menyayangi kalian. Oleh sebab itu biarkan ayah yang menyelamatkan kalian” ucap ayah sambil menangis. Ayah benar aku sudah begitu lama menderita dalam kegelapan ku sendiri. Ku kira aku akan bisa menikmati kehidupan yang lebih baik, ternyata aku tidak cukup baik untuk merasakan itu. Akhirnya aku bisa terlepas dari kegelapanku sendiri, merasakan ketenangan yang luar biasa. Pagi menyambut cahaya matahari menyinari wajahku, kehangatannya seakan-akan bisa masuk menembus kegelapan hati dan hidupku yang bahkan aku tidak tau lagi apakah hidupku akan kembali bercahaya. Tuhan bisakah aku berharap ini semua hanya mimpi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar